YFN6TZXvRFIbTqAnRFX8RmI5ReuuaVbZfKCwaV1=
Deskripsi

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang laki-laki yang merupakan anak dari Ratu Kirig, laki-laki tersebut bernama Jagareksa. Jagareksa merupakan murid dari Sunan Muria, ia belajar agama dari Sang Sunan. Hingga suatu ketika ia ditugaskan untuk “mbabat alas” atau menebang hutan dan membersihkannya untuk kelak dihuni oleh warga atau orang-orang sekitar. Maka pergilah ia kesuatu alas atau hutan yang harus ia “babat”. Ia bekerja tidak kenal lelah, sangat tekun dan penuh tanggungjawab. Meski ia sibuk “babat” alas, ia tidak lupa melakukan ibadah sholat. Jagareksa mbabat alas mulai dari selatan sampai utara. Setelah alas atau hutan tersebut sudah layak dihuni, datanglah berbondong-bondong orang untuk tinggal didaerah tersebut. Namun apa dikata, mereka justru malah sering bertikai.

Pertikaian antar warga yang terjadi kian meluas hingga akhirnya munculah desas-desus yang menyebar luas kepenjuru negeri. Semua orang dibuatnya penasaran dan ingin membuktikan apa benar didaerah tersebut sering sekali terjadi pertikaian yang sangat dahsyat dan menggemparkan. Salah satu orang yang penasaran akan kebenaran desas-desus tersebut adalah Junaidiyang merupakan putra dari Raden Muhyidin dari Cirebon. Laki-laki ini datang jauh-jauh dari Cirebon ke Kudus untuk berdomisili didaerah yang sering terjadi pertikaian tersebut, dan mencari tahu apa yang sebenarnya menjadi duduk permasalahan atas terjadinya pertikaian tersebut.

Setelah beberapa hari berdomisili didaerah tersebut, akhirnya terjawab sudah rasa penasarannya, bahwa ternyata didaerah itu memang benar sering sekali terjadi suatu pertikaian. Dan penyulut pertikaian itu hanya masalah sepele. Mereka bertikai hanya karena harta, tahta dan wanita. Seiring berjalannya waktu, Junaidi akhirnya mengenal Jagareksa yang merupakan sesepuh didaerah tersebut. Mereka berdua sepakat untuk mengadakan pertenuan pribadi. Suatu hari bertemulah mereka untuk berbincang-bincang. Kedua laki-laki tersebut yang tak lain adalah Junaidi dan Jagareksa tampak sedang terlibat suatu percakapan.

“Saya jauh-jauh datang dari Cirebon Mbah, dan saya sekarang berdomisili disini, saya mendengar bahwa warga sekitar sering sekali terlibat suatu pertikaian hanya karena harta, tahta, dan wanita. Apakah Mbah Jagareksa belum mengajarkan agama?” ujar Junaidi membuka pembicaraan.

“Memang benar nak, kalau warga sekitar sama sekali belum mengenal agama, jadi mereka sering sekali terlibat pertikaian mengenai hal sepele” jawab Mbah Jagareksa.

Ma’af jika saya lancang Mbah, saya hanya ingin menawarkan, bagaimana kalau saya diperkenankan untuk mengajarkan agama atau berdakwah, dan Mbah Jagareksa yang mbabat alas?” usul Junaidi.

Jagareksa pun berkata: “Ohh begitu ya nak, ya sudah begini saja, alas yang sudah saya babat ini, saya berikan untukmu, jagalah baik-baik nak”.

“Terus Mbah bagaimana?” sanggah Junaidi.

“Tenang saja nak, aku akan pergi ketempat lain untuk mbabat alas lagi” jawab Mbah Jagareksa.

Mendengar ucapan Mbah Jagareksa, Junaidi pun berterima kasih dan berjanji akan menjaga tanah pemberian Mbah Jagareksa itu dengan baik. Kemudian, karena pada masa itu, kampung tersebut belum memiliki nama, terbesitlah dalam benak Junaidi untuk memberi nama “PARINGAN”. Karena tanah miliknya tersebut merupakan tanah pemberian dari Mbah Jagareksa.

Tidak berhenti disitu, meski daerah tersebut telah menjadi miliknya, Junaidi tidak tinggal diam, atau bersantai-santai ria. Karena tujuan awalnya adalah untuk berdakwah menyiarkan Islam, akhirnya ia mampu menyadarkan warga dan membuat mereka sadar bahwa harta, tahta dan wanita adalah titipan Tuhan, yang kelak tidak akan dibawa mati. Tidak hanya berdakwah, Junaidi pun ikut meneruskan “mbabat alas mengalor” atau menebang hutan kearah utara, agar kelak anak cucu mereka mempunyai tempat untuk tinggal.

Junaidi merupakan sosok yang sederhana, ia tidak menyukai hal-hal yang berbau mewah. Ia sangat ramah dan sering mengingatkan antar sesama. Mungkin karena pembawaannya itulah, orang-orang menjadi percaya bahwa dia adalah orang yang baik dan akhirnya warga kampungpun menjadi kaum muslimin. Selain itu Junaidi membangun Masjid yang dijadikan sebagai tempat ibadah bagi santri-santrinya maupun warga sekitar yang berada dibagian paling utara Desa Paringan.

Dari pemaparan cerita diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa terbentuknya Desa Papringan tidak terlepas dari andil Mbah Jagareksa dan Junaidi. Kampung tersebut diberinama “PAPRINGAN”karena merupakan tanah “Paringan” atau pemberian Mbah Jagareksa kepada Junaidi. Junaidi merupakan sosok yang sederhana, ramah dan penuh wibawa. Krena beliau lah warga kampung yang semula buta agama, sekarang menjadi kaum muslimin dan muslimat yang ta’at pada Tuhan. Junaidi pula lah yang membangun masjid untuk tempat beribadah di Desa papringan.

Nilai yang terkandung dalam legenda ini adalah nilai religius yang tersirat pada perilaku Mbah Jagareksa yang sesibuk apapun beliau bekerja tapi tidak pernah lalai melakukan ibadah sholat. Terdapat pula nilai moral yang tersirat pada perilaku Junaidi yang terketuk hatinya untuk menyadarkan masyarakat yang sering bertikai hanya karena masalah harta, tahta dan wanita. Selain itu terdapat pula nilai sosial yang tersirat pada perilaku Junaidi yang bersikap ramah, saling membantu sesama dan tidak hidup dalam kemewahan, karena semua hanyalah titipan Tuhan yang kelak akan diminta pertanggungjawaban dari kita.


Sumber : kuduskab



8665500416020543492

:

:

Lengkapi isian dibawah untuk mengajukan pertanyaan, informasi, dan laporan.

Mulai dari desa RT dan RW, kecamatan, kota / kabupaten

Tulis catatan disini untuk keterangan lainnya

KIRIM